Kamis, 20 September 2012

LOMBOK PUSAT PASAR MUTIARA DUNIA


Sejak pencanangan Visit Indonesia Year tahun 1992 lalu, secara berkesinambungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI menyelenggarakan program yang menarik perhatian wisatawan untuk datang ke berbagai daerah di Indonesia. Karena itu, secara bergantian daerah-daerah di Indonesia yang memiliki potensi wisata mulai mengangkat keunggulan-keunggulan pariwisata, termasuk NTB saat ini dengan Visit Lombok Sumbawa 2012.
Untuk menunjang program VLS 2012, maka pada peluncuran tersebut juga diperkenalkan sepuluh Puteri Mutiara yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia yang akan menjadi duta pariwisata Lombok dan Sumbawa dalam mempromosikan Visit Lombok Sumbawa 2012 dan selalu menggunakan mutiara dalam setiap penampilan mereka. Kesepuluh Puteri Mutiara yang menjadi duta Lombok Sumbawa tersebut adalah, Duma Sitorus dari Pulau Sumatera, Marlin Mogigir dari Pulau Sulawesi, Giana Pratidina dari Kalimantan, Astrellia Jeannet Selanno dari Maluku, Putu Ayu Gustina dari Bali, Marcella Rumfabe dari Papua, Agnes Theresia Immanuels dari DKI Jakarta, Ingrid Clarissa Wisnu dari Jogjakarta, Rini Arba dari NTT dan Nur Fajrina dari NTB. Turut hadir sebagai pendukung gerakan VLS 2012, tokoh perfilman Indonesia Christine Hakim dan artis Nadine Candrawinata. 
Mutiara merupakan salah satu komoditi unggulan Indonesia yang pembudidayaannya banyak dilakukan di NTB. Dan kualitas mutiara NTB, dikenal sebagai yang terbaik di dunia, ujar Dirjen Pemasaran Depbudpar, Sapta Nirwandar. Dan selama ini mutiara sudah menjadi ikon NTB. Karena itulah NTB berambisi untuk menjadi pasar mutiara dunia. Jika ini berhasil, maka baru inilah satu-satunya pasar internasional mutiara di dunia. “Secara umum mutiara NTB memiliki keunggulan komparatif. Perairan NTB merupakan hamparan mutiara,” kata Ali Syahdan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTB.
Dilihat produksi mutiara NTB yang rata-rata 600 kg/tahun, daerah ini siap menjadi tuan rumah pasar mutiara dunia. Karena berapa pun kebutuhan mutiara menurutnya, bisa dipenuhi. Tinggal menunggu pasar, persediaan mutiara siap kapan saja, lanjutnya. Sebanyak 36 perusahaan mutiara, tiga di antaranya perusahaan asing, tersebar di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Dari sekitar 2000 lokasi budi daya mutiara di seluruh NTB, sudah termanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan mutiara yang ada. Lokasi-lokasi yang masih bisa dikembangkan untuk pembudidayaan mutiara adalah, Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Selatan, Sumbawa Barat, Teluk Saleh, Kilo, Wera.
Mutiara mulai dikembangkan di NTB sejak tahun 1990-an. Pada waktu itu, ada pihak dari Jepang menganggap kualitas air laut dan air tawar di NTB sangat cocok untuk budidaya mutiara. Posisi  NTB yang startegis, terutama Pulau Lombok khususnya, yang berada di lintas perdagangan Internasional akan menjadi pertimbangan konsumen, memudahkan mereka untuk membeli secara langsung mutiara yang asli. Apalagi industri mutiara di NTB dilakukan dari hulu ke hilir yakni mulai dari pembudidayaan sampai ke produk jadi semuanya dilakukan di daerah ini.
Kualitas terbaik yang dimiliki oleh mutiara NTB ini, tidak terlepas dari kondisi perairan NTB yang sangat potensial dan cocok untuk tempat pembudidayaan mutiara. Karena, budidaya mutiara tergantung sungguh pada kondisi perairan yang sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan serta kualitas mutiara yang dihasilkan. “Lokasi sepanjang perairan di NTB, rata-rata cocok untuk budidaya kerang mutiara,” kata DR. Sigit  A.P Dwiyono dari LIPI UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram.
Hal senada diungkapkan DR. Syachrudin AR, peneliti dan pengembang kerang mutiara, sirkulasi atau pergantian air dari Samudera Indonesia  sangat bagus, sehingga pertumbuhan plankton dan zooplankton sebagai bahan makanan siput di perairan NTB,  tersedia cukup banyak. “Jika makanan siput bagus, maka mutiara yang dihasilkan nantinya akan bagus juga,” katanya. Kebetulan, lanjutnya, perairan NTB sangat mendukung untuk itu. Tiga selat yang dimiliki NTB, Selat Alas, Selat Lombok dan Selat Sape juga menjadi faktor yang sangat potensial sebagai tempat budidaya mutiara karena terlindung dari gelombang.
Pembibitan kerang mutiara sangat bagus jika dilakukan di teluk, sementara, untuk pembudidayaannya, lebih bagus dilakukan di perairan lepas, yang sirkulasi airnya baik, kata Sigit. Budidaya kerang mutiara sendiri, menurutnya, dilakukan mengingat jika melulu mengandalkan persediaan alam, maka lama-kelamaan kerang mutiara akan berkurang bahkan habis. Sedangkan, permintaan pasar akan mutiara cenderung meningkat.
Lokasi budidaya mutiara di NTB, meliputi daerah-daerah pesisir seperti Gili Gede (Pelayan, Belongas), Gili Asahan (Labuhan Poh), Teluk Sire Lombok Barat, Sambelia Lombok Timur, Tanjung Bero, Teluk Mapin, Pulau Moyo dan Teluk Saleh, Sumbawa, Kwangko/Kempo, Teluk Sanggar, Dompu dan Teluk Sape serta Teluk Waworada, Bima.
Budidaya kerang mutiara sangat penting dilakukan mengingat tidak seimbangnya kebutuhan dengan persediaan alam. Juga karena tingginya nilai ekonomis kerang mutiara tersebut, membuat orang mengambil kerang tanpa memikirkan dampak negatif terhadap populasi kerang itu sendiri. “Kalau kerang terus diambil, maka populasinya di alam akan berkurang bahkan bisa punah,” ungkap Syachrudin.
Mutiara yang dihasilkan secara alami bentuknya tidak akan beraturan atau sangat sulit mendapatkan yang berbentuk bulat. Tapi dengan campur tangan manusia, mutiara bisa dibentuk sesuai keinginan. Mutiara terbentuk, akibat adanya rangsangan benda asing yang masuk ke dalam mantel kerang mutiara baik secara buatan  maupun alami. Benda asing tersebut terperangkap di dalam kerang dan tidak bisa keluar.
Untuk menghilangkan rasa sakitnya, kerang mutiara akan mengeluarkan cairan lendir untuk melapisi benda asing tersebut agar menjadi licin sehingga dapat terbebas dari rasa sakit. Semacam cara membuat hidupnya nyaman. Mantel kerang mutiara memiliki sel-sel aktif yang dapat menghasilkan zat-zat lendir yang akan mengeras menjadi mutiara. Lapisan yang terbentuk memiliki warna, bentuk, ketebalan dan ukuran yang berbeda-beda, tergantung dari faktor ekternal maupun  internal. “Nah, di sinilah kita bisa melakukan rekayasa itu,” kata Syachrudin.
Dengan memasukan benda asing berupa nucleus (terbuat dari tulang ikan yang dihancurkan dan dibentuk bulatan) ke dalam kerang mutiara, maka akan menghasilkan mutiara yang bentuknya bulat. Kerang akan mengeluarkan lendir terus menerus untuk melapisi, mengikuti bentuk benda asing yang masuk. “Maka mutiara yang dihasilkan bentuknya akan bulat,” ujar Syachrudin.
Mutiara hasil budidaya dirangsang dengan nukleus dan seibo. Seibo adalah  mantel  dari kerang lain yang dipotong-potong dan penempatannya harus  saling bersentuhan dengan siput di dalam kerang mutiara.

Rabu, 19 September 2012

SUSU KUDA LIAR SUMBAWA




Banyak Manfaat untuk Kesehatan
Selain sebagai penghasil madu dengan kualitas bagus, pulau Sumbawa juga memiliki susu kuda liar. Penghasil susu kuda liar di pulau ini terdapat antara lain di daerah Saneo Dompu, Tolonggeru Donggo dan Wera Bima, juga Tepal Sumbawa dan beberapa tempat lain di gugusan pegunungan pulau Sumbawa. Susu kuda liar sangat dikenal bahkan telah menjadi “mitos” untuk vitalitas, terutama bagi kaum laki-laki. Apa sebenarnya yang terkandung dalam susu kuda liar tersebut sehingga mitos ini demikian lekat?
“Seribu satu misteri masih bisa dikuak dari susu kuda liar,” ujar DR. Diana Herawati, salah seorang peneliti susu kuda liar yang memfokuskan diri meneliti susu kuda di Desa Saneo Dompu.
            Desa Saneo, dengan penduduknya yang ramah dan bersahaja, berada di bagian Utara Kota Dompu. Desa ini menjadi salah satu penghasil susu kuda liar berkualitas. Sebagian besar masyarakat di desa ini bermatapencaharian dari produk alami susu kuda mengingat masyarakat di daerah ini, tidak banyak yang berusaha di bidang pertanian. Bahkan, para peternak kuda di Saneo telah membentuk sebuah kelompok yang disebut Kelompok Hidup Bersama. Dalam kelompok yang beranggotakan lebih-kurang 50 peternak yang rata-rata memiliki 1-2 ekor kuda inilah, mereka mengelola usaha susu kuda liar. “Masyarakat di sini mampu menyekolahkan anak-anak mereka dari hasil usaha susu kuda dan madu,” ujar Arifin, ketua kelompok tersebut.
Giatnya masyarakat Saneo terutama kelompok ini dalam usaha susu kuda liar yang telah berlangsung puluhan tahun, membuat Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI, memberikan penghargaan bagi kelompok ini berupa Penghargaan Ketahanan Pangan Tingkat Nasional Tahun 2009, bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian kategori Pelaku Usaha Penerapan Jaminan Mutu Peternakan, yang diserahkan langsung oleh Wakil Presiden RI, Boediono, di Istana Wakil Presiden Jakarta.
Sebelumnya, kuda-kuda di kampung ini tidak disadari memiliki potensi ekonomi lebih bagi masyarakat. Kuda-kuda mereka hanya dipergunakan untuk membantu warga mengangkut kayu dan hasil bumi serta dipakai sebagai alat transportasi ke ladang-ladang di sekitar perbukitan Saneo. Sekitar lima belas tahun belakangan, susu kuda mulai dikonsumsi sendiri oleh masyarakat Saneo dan tidak untuk dijual. Setelah itu baru disadari bahwa susu kuda bernilai ekonomis. Maka para peternak mulai menjual susu kuda tersebut, namun pemasarannya masih dilakukan sendiri-sendiri sehingga harganya tidak tetap.
Hal ini membuat para peternak berpikir untuk kemudian bergabung dalam satu kelompok agar bisa melakukan pemasaran bersama-sama. Hal ini dilakukan karena, suatu kali, cerita Arifin dan peternak lain di Saneo, saat mereka menjual susu kuda tersebut, ternyata kemudian diperbanyak dengan cara dipalsukan oleh pihak lain. Bagi para peternak, hal ini tidaklah membuat usaha mereka bisa berkembang dengan baik. Hingga suatu hari, tepatnya di tahun 2004, seorang peneliti dari Departemen Pertanian RI, Diana Hermawati, datang ke Saneo untuk meneliti khasiat yang terkandung dalam susu kuda liar. Dan atas prakarsa Diana, pada tahun 2005 kelompok peternak kuda liar “Hidup Bersama” ini pun terbentuk, sekaligus untuk menghindari pemalsuan susu kuda liar.
Dari hasil penelitian terhadap susu kuda liar ini, kata Diana, terdapat bakteri yang bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. “Susu kuda sangat baik karena mengandung 11 anti bakteri yang bisa membunuh berbagai bakteri penyebab penyakit antara lain, Typus, TBC-penyakit paru, asma dan penyakit saluran pernafasan lainnya,” ujarnya. Dari 2000 sampel susu kuda di Saneo yang diambil dari individu ternak yang diidentifikasi mengandung antimikroba yang sangat kuat, ujarnya. Dan anti mikroba dalam susu kuda dapat menekan laju perkembangan sel kanker, lanjutnya. Juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan vitalitas.
Hasil ini didapat setelah meneliti sampel susu kuda yang stabil dan terus menerus di Saneo Dompu. Sebelumnya, di beberapa daerah, Diana juga pernah melakukan penelitian serupa namun tidak bisa mendapatkan sampel susu kuda yang stabil dan kontinyu sehingga beberapa kali penelitian yang dilakukannya gagal. “Perlu sampel yang stabil dan terus menerus selama jangka waktu tertentu baru bisa didapat hasil tersebut,” kata Diana yang menghabiskan biaya sekitar Rp 1,1 Milyar untuk melakukan penelitian susu kuda di berbagai daerah ini.
Susu kuda biasanya disebut dengan susu kuda liar. Tidak berbeda memang. Hanya saja penyebutan “liar” pada susu kuda memberikan arti yang semakin menguatkan khasiatnya. Padahal, disebut susu kuda liar karena kuda-kuda jinak tersebut kesehariannya memang dibiarkan liar di perbukitan terdekat dengan perkampungan warga. Namun ketika masa pemerahan susu, kuda-kuda biasanya dibawa kembali ke kandangnya masing-masing.
Kelebihan susu yang dihasilkan dari kuda-kuda di Saneo adalah dibiarkan atau dilepas liar pada lahan organik seluas lebih-kurang 100 hektar are di perbukitan dekat Saneo. Lahan seluas ini telah diteliti dan dijaga kealamiannya sejak beberapa tahun lalu. Kuda-kuda ini dilepas pada kawasan tersebut tanpa diikat dan tidak boleh disuntik dengan jenis obat apa pun.
Bahkan lokasi pelepasan kuda-kuda di kawasan ini, terus dijaga karena harus bebas dari residu logam berat seperti pestisida dan lainnya sehingga tanaman sebagai makanan kuda tumbuh sebagai bahan makanan organik bagi kuda. Kawasan pelepasan kuda juga jauh dari pemukiman penduduk dan polusi. Bahkan jika kuda sakit tidak boleh diobati dengan obat-obatan yang mengandung bahan kimia. “Sejauh ini, para peternak masih terus mempertahankan hal ini,” kata Arifin.
Susu kuda bukan hanya dikonsumsi sebagai bahan minuman melainkan juga berkhasiat baik bagi kulit karena mengandung gula gulin, protein yang bagus, ujar Diana. Anti mikroba yang terkandung dalam susu kuda juga sangat baik untuk regenerasi sel kulit dan juga menghilangkan jerawat.
Karena itu, produk-produk kecantikan berbahan dasar susu kuda mulai dikembangkan seperti, night cream, moisturizer, sabun mandi, sabun muka, body lotion, shampoo dan lain-lain. Produk kosmetik yang dihasilkan dari susu kuda ini telah diuji selama dua tahun dan sebelum dilepas ke pasaran, telah dua tahun pula dilakukan testimoni terlebih dahulu pada pemakai, ujar Diana.
Dibiarkan Liar di Alam
            Di Pulau Sumbawa, ternak-ternak seperti sapi dan kuda tidak dipelihara khusus dalam kandang-kandang oleh peternaknya, melainkan dilepas di perbukitan. Cara beternak seperti ini di Bima dan Dompu dikenal dengan nama so dan di Sumbawa disebut lar. Berbeda dengan di Lombok yang pemeliharaan ternaknya dilakukan di kandang-kandang khusus. Ada juga yang beternak dengan cara merawat bersama-sama dalam satu lokasi kandang bersama. Cara beternak seperti ini di Lombok dikenal dengan nama Kandang Kumpul, terutama untuk sapi.
            Maka tidak heran, ketika melewati jalan sepanjang Pulau Sumbawa dari Poto Tano hingga Sape, dapat dijumpai sekumpulan ternak-ternak seperti sapi dan kuda yang sepertinya “hidup liar” tanpa pengawasan pemiliknya. Demikian juga dengan kuda-kuda di Saneo yang susunya sengaja diprodusir khusus untuk dikonsumsi. Kebiasaan melepas kuda secara liar di Pulau Sumbawa sudah berlangsung secara turun temurun. Sejauh ini, para peternak mengaku tidak kesulitan menemukan ternak-ternak peliharaannya ketika dicari dan tetap dalam kondisi aman, kata Arifin dan peternak lain.
            Kuda-kuda yang bisa dimanfaatkan susunya memang dipelihara secara liar di alam bebas ketika mulai berusia enam bulan untuk dibiarkan kawin secara alami. Berbulan-bulan kuda-kuda ini hidup liar di alam, tanpa dipelihara oleh pemiliknya. Kuda makan apa saja yang ada di alam. Pemiliknya hanya sesekali datang untuk melihat ternak-ternak ini. Para peternak masing-masing telah mengenal dengan baik ternak-ternak mereka sehingga sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah terjadi, kata Arifin, mereka ribut soal ternak yang tertukar. Hebatnya lagi, kuda-kuda ini sangat mengenal pemiliknya. Begitu para pemiliknya datang ke perbukitan dan memanggil dengan cara masing-masing, maka kuda-kuda ini datang berkumpul dengan jinaknya. Bahkan pada saat-saat tertentu, kuda-kuda ini bisa pulang ke kandang dengan sendirinya.
            Pada saat-saat tertentu, para pemilik ternak ini, memeriksa kondisi kuda-kudanya. Jika diketahui ada yang bunting, maka akan terus dipantau namun tetap dibiarkan liar hingga beranak di alam bebas. Setelah kuda beranak, maka diberikan kesempatan untuk menyusui anak-anaknya selama dua bulan. “Susu kuda tidak langsung diperah setelah beranak, melainkan dua bulan setelah menyusui anaknya,” kata Arifin. Ini dilakukan untuk memberikan kesempatan pada si anak kuda agar bisa menyusu pada induknya. Tentu saja agar anak kuda dapat berkembang dengan baik dan sehat.
            Setelah masa menyusui anak kuda selama dua bulan, barulah susu diperah untuk dikonsumsi hingga enam bulan ke depan sebelum kuda-kuda betina ini bunting lagi. Selama masa pemerahan susu, kuda masih dibiarkan liar di alam bersama anaknya. Para peternak hanya akan memerah susu kuda ketika ada permintaan pasar. Saat hendak diperah, kuda-kuda ini dibawa ke kandang bersama anaknya. Sebelum susu diperah, induk kuda dipisah dengan anaknya selama satu sampai dua jam untuk membiarkan produksi susu kuda melimpah sebelum diperah.  
            Dalam sekali pemerahan susu kuda yang dihasilkan sebanyak lebih kurang satu botol ukuran 625 ml. Setelah pemerahan dilakukan, maka induk kuda dibiarkan lagi selama tiga jam untuk memberikan kesempatan kepada anak kuda untuk menyusui. Demikian seterusnya hingga tiga kali pemerahan dalam sehari. “Dalam sehari, seekor kuda akan menghasilkan susu kuda sebanyak tiga botol,” katanya. Pada masa beranak yang kedua, biasanya produksi susu kuda menjadi semakin banyak, 4-5 botol dalam sehari.
            Setelah pemerahan dilakukan, susu kuda disaring kemudian dimasukkan dalam botol dan ditutup rapat. “Susu kuda dapat bertahan selama lima hingga enam bulan tanpa pengawet,” kata Arifin. Menurut warga Saneo yang selama ini biasa mengkonsumsi susu kuda, semakin lama susu kuda rasanya semakin asam dan khasiatnya dirasakan semakin bagus. Satu induk kuda dapat melahirkan hingga 10 kali dalam jangka waktu 10 tahun. Setelah usia kuda tua, biasanya akan dijual untuk dikonsumsi dagingnya.
            Susu kuda Saneo, dikembangkan menjadi susu kuda organik. Oleh karena itu segala hal menyangkut pemeliharaan kuda, termasuk makanannya dijaga benar yang berasal dari bahan-bahan organik. Wadah tempat menampung perahan susu kuda bebas dari hal-hal berbau kimia, misalnya tidak boleh dicuci menggunakan sabun atau deterjen melainkan pembersihannya dilakukan dengan air panas. Demikian juga meja dan media lain di sekitar tempat memprodusir susu kuda ini, seperti meja-meja, dinding dan lantai tidak boleh dicat.
Untuk mendapatkan susu kuda Saneo yang organik, sebelumnya harus melewati uji standar mutu yang dilakukan di laboratorium yang difasilitasi oleh Diana. Diana biasanya membeli susu-susu kuda ini untuk diuji standar mutunya untuk mendapatkan sertifikasi organiknya. Susu kuda liar organik bisa diperoleh setelah melewati uji standar mutu dan mendapatkan sertifikasi organik.
Di Saneo, susu kuda liar tidak distok dalam jumlah banyak dalam botol-botol meskipun bisa bertahan lama, melainkan persediaan langsung pada kuda-kuda yang dilepas liar di alam. “Saat ada permintaan pasar barulah susu kuda kami perah,” ujar Arifin. Susu kuda Saneo, banyak mendapat permintaan dari berbagai daerah seperti Mataram, Batam, Bandung, Jawa Tengah, Jakarta dan lainnya.
Usaha susu kuda liar di desa Saneo tampaknya semakin berkembang. Masyarakat di sana telah menjadikan usaha ini sebagai mata pencaharian. Harga seekor induk kuda beserta ankanya yang siap diperah berkisar di atas Rp 6 juta – Rp 7 juta. Satu ekor anak kuda biasanya seharga di atas Rp 2-3 juta. Menurut Arifin, minat masyarakat Saneo untuk menjadikan susu kuda liar sebagai mata pencaharian, saat ini cukup besar. Ini tidak lepas dari semakin banyaknya permintaan pasar pada susu yang memiliki protein tinggi ini. “Bahkan kami sering tidak mampu memenuhi permintaan pasar,” ujarnya. Karena itu, ke depannya kelompok ini berencana untuk meningkatkan produksi susu kuda liar dan membuat lokasi pemerahan dengan standar keamanan produk yang lebih baik lagi.